Mang Koko Koswara Sang Maestro Karawitan Asal Tasikmalaya

Seni Budaya Esdenews,- Ayah dari Koko Koswara terlahir tanggal 10 April 1917 di Indihiang Tasikmalaya, adalah bernama Ibrahim alias Sumarta, masih keturunan Sultan Banten (Maulana Hasanuddin). Ia mengikuti pendidikan sejak HIS (1932), MULO Pasundan (1935). Selepas masa pendidikan ia bekerja sejak tahun 1937 berturut-turut di Bale Pamulang Pasundan, Paguyuban Pasundan, De Javasche Bank, surat kabar harian Cahaya, harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, guru yang kemudian menjadi Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1972), Dosen Luar Biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung, sampai ia wafat.

Ayahnya Ibrahim alias Sumarta, masih keturunan Sultan Banten (Maulana Hasanuddin). Ia mengikuti pendidikan sejak HIS (1932), MULO Pasundan (1935). Selepas masa pendidikan ia bekerja sejak tahun 1937 berturut-turut di: Bale Pamulang Pasundan, Paguyuban Pasundan, De Javasche Bank; surat kabar harian Cahaya, harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, guru yang kemudian menjadi Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1972), Dosen Luar Biasa di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung, sampai ia wafat.

banner 325 x 300

Bakat seni yang dimilikinya Mang Koko tersebut berasal dari ayahnya yang tercatat sebagai juru mamaos Ciawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari para seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang ahli musik Sunda.

Ia juga tercatat telah mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, diantaranya: Jenaka Sunda Kaca Indihiang (1946), Taman Murangkalih (1948), Taman Cangkurileung (1950), Taman Setiaputra (1950), Kliningan Ganda Mekar (1950), Gamelan Mundinglaya (1951), dan Taman Bincarung (1958).

Mang Koko juga mendirikan dan menjadi pimpinan pertama dari Yayasan Cangkurileung pusat, yang pada saat ini cabang-cabangnya tersebar di lingkungan sekolah-sekolah seprovinsi Jawa Barat. Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian “Swara Cangkurileung”(1970-1983).

Baca Juga:  Bersyukurnya Bersyukur

Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah, diantaranya Resep Mamaos (Ganaco, 1948), Cangkurileung (3 jilid/MB, 1952), Ganda Mekar (Tarate, 1970), Bincarung (Tarate, 1970), Pangajaran Kacapi (Balebat, 1973), Seni Swara Sunda atau Pupuh 17 (Mitra Buana, 1984), Sekar Mayang (Mitra Buana, 1984), Layeutan Swara (YCP, 1984), Bentang Sulintang atau Lagu-lagu Perjuangan dan sebagainya.

Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dan gending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya Gondang Pangwangunan, Bapa Satar, Aduh Asih, Samudra, Gondang, Samagaha, Berekat Katitih Mahal, Sekar Catur, Sempal Guyon, Saha?, Ngatrok, Kareta Api, Istri Tampikan, Si Kabayan, Si Kabayan jeung Raja Jimbul, Aki-Nini Balangantrang, Pangeran Jayakarta, dan Nyai Dasimah.

Pada saat kita membaca riwayat kehidupan Mang Koko, akan ditemui seorang manusia yang telah memasrahkan jiwa dan raganya demi kehidupan dan kelestarian seni, khususnya seni Sunda. Namun ia merasa sudah cukup bila ia disebut sebagai seorang penghalus jiwa, sebab seperti diungkapkan dalam salah satu kawihnya, seni adalah penghalus jiwa.

Bakat seni yang dimilikinya berasal dari ayahnya yang tercatat sebagai juru mamaos Ciawian dan Cianjuran. Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan diantaranya Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang ahli musik Sunda.

Baca Juga:  Bersyukurnya Bersyukur

Ia juga tercatat telah mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, diantaranya Jenaka Sunda Kaca Indihiang (1946), Taman Murangkalih (1948), Taman Cangkurileung (1950), Taman Setiaputra (1950), Kliningan Ganda Mekar (1950), Gamelan Mundinglaya (1951), dan Taman Bincarung (1958).

Mang Koko juga mendirikan sekaligus menjadi pimpinan pertama dari Yayasan Cangkurileung pusat, yang cabang-cabangnya tersebar di lingkungan sekolah-sekolah seprovinsi Jawa Barat. Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah kesenian “Swara Cangkurileung” (1970-1983).

Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah, diantaranya Resep Mamaos (Ganaco, 1948), Cangkurileung (3 jilid/MB, 1952), Ganda Mekar (Tarate, 1970), Bincarung (Tarate, 1970), Pangajaran Kacapi (Balebat, 1973), Seni Swara Sunda atau Pupuh 17 (Mitra Buana, 1984), Sekar Mayang (Mitra Buana, 1984), Layeutan Swara (YCP, 1984), Bentang Sulintang atau Lagu-lagu Perjuangan dan sebagainya.

Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dan gending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya Gondang Pangwangunan, Bapa Satar, Aduh Asih, Samudra, Gondang, Samagaha, Berekat Katitih Mahal, Sekar Catur, Sempal Guyon, Saha?, Ngatrok, Kareta Api, Istri Tampikan, Si Kabayan, Si Kabayan jeung Raja Jimbul, Aki-Nini Balangantrang, Pangeran Jayakarta, dan Nyai Dasimah.

Saat membaca riwayat kehidupan Mang Koko, akan ditemui seorang manusia yang telah memasrahkan jiwa dan raganya demi kehidupan dan kelestarian seni, khususnya seni Sunda. Namun ia merasa sudah cukup bila ia disebut sebagai seorang penghalus jiwa, sebab seperti diungkapkan dalam salah satu kawihnya, seni adalah penghalus jiwa.***

Penulis: Cucu RasmanEditor: Tim Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *