Tasikmalaya esdenews.com, – Nama Tan Malaka mungkin tidak sepopuler Soekarno, Hatta, atau Sjahrir di buku-buku pelajaran sekolah. Namun, sejarah mencatat bahwa tokoh kelahiran Sumatera Barat ini adalah salah satu pemikir paling radikal dan visioner dalam perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia. Banyak kalangan bahkan menyebutnya sebagai “Bapak Republik Indonesia”, jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan.
Tan Malaka lahir dengan nama Sutan Ibrahim pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Pendidikan awalnya ditempuh di sekolah Belanda, lalu melanjutkan ke Rijkskweekschool di Haarlem, Belanda. Di sanalah ia menyerap gagasan-gagasan sosialisme dan komunisme yang kelak membentuk dasar pemikirannya tentang kemerdekaan dan keadilan sosial.
Berbeda dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya, Tan Malaka tidak hanya melihat kemerdekaan dari sisi politik, tapi juga ekonomi dan sosial. Dalam karya terkenalnya “Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika), ia mengajak rakyat Indonesia untuk berpikir rasional dan ilmiah, bukan sekadar mengikuti dogma atau takhayul.
Tan Malaka dikenal sebagai sosok yang keras kepala terhadap penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Ia sempat dideportasi dari Hindia Belanda, hidup berpindah-pindah di berbagai negara — mulai dari Filipina, China, Thailand, hingga Birma — namun tetap menulis, mengajar, dan mengorganisasi perlawanan dari luar negeri.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, Tan Malaka kembali ke tanah air. Ia aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, membentuk partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), serta mendorong persatuan di tengah konflik politik dan militer pasca-proklamasi.
Namun, perjalanan hidupnya berakhir tragis. Dalam kekacauan politik pasca-revolusi, Tan Malaka ditangkap oleh militer dan dieksekusi di Kediri, Jawa Timur, pada 21 Februari 1949 — tanpa pengadilan resmi. Namanya sempat tenggelam dari buku sejarah selama puluhan tahun, bahkan dianggap “berbahaya” karena dikaitkan dengan ideologi kiri.
Baru pada 1963, Presiden Soekarno secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tan Malaka, mengakui jasa dan perjuangannya yang monumental bagi republik ini.
Meski hidupnya berakhir di ujung senapan, gagasan Tan Malaka tetap hidup. Madilog dan berbagai tulisan politiknya masih dikaji oleh akademisi dan aktivis hingga kini. Pandangannya tentang kemandirian bangsa, pendidikan rasional, dan perjuangan melawan ketimpangan sosial terasa relevan dengan kondisi Indonesia modern.
“Tan Malaka bukan sekadar ideolog kiri. Ia adalah simbol pemikiran bebas dan keberanian untuk melawan ketidakadilan,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam dalam salah satu wawancaranya.
Kini, generasi muda mulai menelusuri kembali sosok yang dulu dianggap tabu ini. Bagi sebagian kalangan, Tan Malaka adalah pengingat bahwa republik ini berdiri bukan hanya atas keberanian, tetapi juga atas pikiran yang merdeka.***